<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d10028614\x26blogName\x3dThe+Truth+Only\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://anakmapek.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_GB\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://anakmapek.blogspot.com/\x26vt\x3d-9071562857044558623', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

ATTAHSIN WA TAQBIH; Versi Asy'ariah

a. Mukaddimah
Perdebatan seputar kalam dikalangan para ulama masih hangat diperbincangkan, terutama tiga aliran besar ; Mu’tazilah Asy’ariah dan Maturudiyah. Diantara permasalahan yang masih jadi perdebatan adalah masalah At-tahsin Wa Taqbih, pokok permasalahan terfokus pada masalah esensi kata tersebut, apakah dia merupakan sifat dzat yang diketahui dan dipahami secara daruri oleh akal atau lebih bersifat relatif, yang bisa mengalami perubahan hukum berdasarkan situasi dan kondisi ?

b. Makna At-tahsin wa Taqbih
Menurut pandangan Asy’ariah bahwa nilai “baik” dan “buruk” itu tidak termasuk sifat dzaty (hakiki) bagi nilai sebuah kebaikan dan keburukan, dan bukan juga yang diketahui dan dipahami akal secara daruri ataupun teori. Tapi bagi mereka, nilai “baik” dan “buruk” lebih bersifat abstrak dan relatif, terkadang mengalami perubahan sesuai dengan pandangan akal terhadap personal, waktu dan situasi. Golongan Asy’ariah mengklarifkasi hal tersebut kedalam tiga pandangan :

Pandanngan pertama :
Perbuatan itu terbagi kepada : yang sesuai dengan tujuan disebut hasan (baik), yang meyalahi tujuan disebut qabh (buruk). Dan yang tidak sesuai tujuan dan tidak meyalahi tujuan disebut abaz (sia-sia).
Bedasarkan pandangan ini, maka perbuatan itu dinilai “baik”, manakala sejalan dengan tujuan dan dinilai “buruk” jika meyalahi tujuan. Seperti : membunuh fulan, bagi keluarga fulan itu “buruk” karena menyalahi kebenaran, tapi bagi si pembunuh itu “baik” karena sesuai dengan tujuannya.

Pandangan kedua :
“Baik” berdasarkan syar’i, yaitu hal-hal yang diperintahkan syar’i dan berhak mendapatkan apresiasi secara syar’i. Hal ini meliputi amalan-amalan wajib, sunnat dan perbuatan-perbuatan allah. Dan mubah tidak masuk dalam kategori ini, karena tidak adanya apresiasi syar’i bagi yang melakukannya atau meninggalkannya.
Sedangkan “buruk” adalah hal-hal yang dicela syar’i. Hal ini meliputi haram saja, tidak mencakup makruh dan mubah, karena syar’i tidak memberikan celaan bagi yang melakukannya. Meskipun demikian, ia tidak dikategorikan hasan dan tidak juga qabh, tapi lebih pada otoritas pribadi seseorang dimana ia berada pada pilihan antara harus melakukannya – karena sesuai dengan tujuan - atau meninggalkannya.
Berdasarkan pandangan ini, nilai “baik” dan “buruk” menjadi sangat variatif dan relatif, dimana syar’i bisa mewajibkan suatu perbuatan disatu sisi, dan disisi lain mengharamkannya. Atau mewajibkan kepada seseorang dan mengharamkan kepada yang lain.

Pandangan ketiga :
Pada umumnya, “baik” itu adalah : apa yang seharusnya dilakukan seseorang. Hal ini mencakup perbuatan-perbuatan allah, wajibaat, sunnat, mubah dan makruh. Akan tetapi golongan Asy’ariah sendiri bebeda dalam hal mubah. Diantaranya :
§ Ada yang melarang menilai sesuatu itu “baik” berdasarkan tinjauan bahwa hal tersebut dianjurkan atau diserukan atasnya, karena pada dasarnya mubah tidak seperti itu.
§ Dan ada yang memperbolehkan dengan pandangan bahwa “siapa yang melakukan suatu perbuatan yang dibolehkan” bisa dikatakan “melakukan sesuatu yang “baik”” tanpa adanya bantahan dari mayoritas orang islam. Dan seandainya perbuatan itu tidak “baik”, maka bisa dikatakan ia telah melakukan sesuatu yang “mubah”.

Berdasarkan pandangan ini, maka nilai “baik” dan “buruk” itu relatif, dimana syari’i memiliki otoritas untuk mengklaim suatu perbuatan itu wajib disatu sisi dan haram disisi lain. Maka nilai “baik” dan “buruk” itu pada dasarnya tidak bersifat dzaty (hakiki).

c. Beberapa Permasalahan
1. Dikatakan : menurut Asy’ariah bahwa semua ciptaan allah itu “baik” dari semua sisi. Dan diantara ciptaannya adalah perbuatan hamba (af’al ibaad), maka semua perbuatan hamba juga “baik”. Trus, bagaimana dengan sebagian perbuatan “buruk” manusia?

Golongan Asy’ariah berbeda dalam hal ini kepada dua golongan:
· Diantaranya ; perbuatan allah itu berpengaruh terhadap ciptaannya (perbuatan manusia), maka perbuatan manusia memiliki nilai yang sama dengan perbuatan tuhan karena dia merupakan bagian dari ciptaan Tuhan.
· Yang lain mengatakan ; perbuatan “buruk” manusia itu adalah usaha hamba itu sendiri tanpa ada campur tangan tuhan didalamnya. Maka hukum “buruk” itu dinilai berdasarkan perbuatan dan usaha manusia, bukan perbuatan Tuhan.
2. Syubhat Istidlaliyah : Para ahli logika sepakat bahwa berbohong, kebodohan, kekafiran dan kedzaliman itu “buruk”. Jujur, adil, iman dan ilmu itu “baik”. Hal tersebut diketahui manusia secara daruri tanpa membutuhkan pertimbangan-pertimbangan lain, “baik” itu secara urf (adat) atau syar’i. Bahkan hal tersebut diyakini oleh orang-orang yang tidak mengenal urf dan meyakini syariat seperti agama Brahma dll. Hal itu menunjukan bahwa “baik” dan “buruk” itu diktehui secara dzaty (daruri).

Dalam hal ini, Asy’ariah mempunyai beberapa pandangan diantaranya :
· Bahwa klaim berbohong dan dzalim itu dinilai “buruk”, lebih pada masalah pembenaran (tashdiqi), sedangkan hukum pembenaran tidak bisa terealisasi tanpa adanya gambaran secara terperinci. Maka seandainya pengetahuan tentang itu daruri, maka pengetahuan tentang hakikat bohong dan dzalim juga menjadi daruri.
Pandangan tersebut dinilai salah, karena daruri itu adalah yang diketahui akal secara langsung tanpa meliahat hal-hal diluar dirinya, tanpa ada gambaran secara terperinci. Seperti hitam dan putih tidak bisa bersatu, hal tersebut diketahui secara daruri, sedangkan esensi hitam dan putih tidak diketahui secara daruri.

3. Subhat Ilzamiyah : seandainya penetapan nilai “baik” dan “buruk” setelah adanya syar’i, maka bisa saja terjadi kebohongan dalam risalah nabi, yang bisa mencemarkan otentitas kenabian.

Bantahan Asy’ariah :
· Menurut mereka, nilai “baik” dan “buruk” itu tidak mesti setelah adanya syariat dan tidak seharusnya menafikan nilai “baik” dan “buruk” itu sebelum datangnya syar’i.
· Seandainya “baik” itu hanya yang dinilai “baik” oleh syar’i dan “buruk” itu yang dinilai “buruk” oleh syari’i, maka pada dasarnya golongan Asy’ari tidak menerima penafian makna “buruk” sebelum adanya syar’i serta tuduhan kemungkinan terjadinya penyimpangan di dalam risalah kenabian.

Wallahu a’lam bi shawab..........
Kairo, 29 Maret 2005

· Disampaikan dalam diskusi bersama Forum Kajian Baiquni di Sekretariat KKS pada tanggal 29 Maret 2005.
« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

» Post a Comment