<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d10028614\x26blogName\x3dThe+Truth+Only\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://anakmapek.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_GB\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://anakmapek.blogspot.com/\x26vt\x3d-9071562857044558623', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

ALHADATSAH WA MA BA'DA HADATSAH II

Tuesday, February 01, 2005
Etos Post-modernisme
1. Ontologi
Bagi kaum Postmodernis tidak ada yang universal. Tidak ada satu landasan akhir yang bisa dijadikan pegangan, dan bahkan tidak ada pemilahan. Proyek postmodernis adalah usaha meruntuhkan kebohongan metafisika dan kerancuan filsafat humanisme secara total dengan meruntuhkan realitas universal kaum modernis.
Proyek modernisme bersandar pada dualisme zat yang saling berkaitan, yang berinteraksi dengan objek yang saling berkaitan dalam naungan ke-universal-an yang tsabit, yang pada akhirnya kembali kepada tuhan atau paling tidak kembali kepada naungan tuhan. Maka, proyek post-modernisme berusaha menghilangkan naungan ini. Mereka mengingkari sumber segala sesuatu, maka materi universal yang memiliki makna tidak menyisakan kecuali materi saja. Kebenaran itu tersembunyi diantara kebenaran-kebenaran dan tersembunyi diantara bagian-bagian materi yang tidak diikat oleh ikatan. Alam postmodernitas adalah situasi yang senantiasa bergerak dan berubah-ubah, tapi tidak menuntut perkembangan yang memiliki makna dan tujuan. Begitulah esensi metafisika menurut Postmodernis.
Semua ini menunjukan hilangnya titik pusat yang mengontrol segala sesuatu. Kaum Posmodernis menganggap penggunaan kalimat "yakin, motivasi, kebenaran dan zat" sebagai kata kunci keruntuhan metafisika. Karena kalimat seperti ini mengandung isyarat kebenaran universal dan oposisi biner. Di dalam modernisme, realitas tersusun berdasarkan ukuran-ukuran yang dipatok manusia dari dirinya dan alam.

Meskipun postmodern dalam masyarakat bermacam-macam bentuknya, mereka sama-sama sepakat bahwa tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi standar umum yang dapat dipakai mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hidup tertentu. Lenyaplah sudah usaha mencari sumber otoritas pusat. Lenyaplah sudah usaha untuk mencari kekuasaan yang absah dan berlaku untuk semua. Kekuatanlah yang menentukan segala-galanya. Karena tidak ada "rasionalitas universal" untuk menghakimi siapa yang "benar", maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan kekuatan lain.

Muncullah pemeo "might is right", kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut "universal", yang dalam perkembangan sejarah lazimnya berhubungan dengan klaim kebenaran "final".

Posmodernisme dalam arti sebenarnya adalah akhir sejarah, akhir kisah, hilangnya kausalitas*, akhir metafisika dan hermeneutika. Postmodernis dalam hal ini berarti perlawanan terhadap modernisme. Kegagalan dan kehancuran modernisme, atau lebih tepatnya anti-modernis. Maka, apakah lahirnya post-modernisme berarti akhir modernisme yang ditandai dengan keruntuhan peradaban barat? Apakah ideologi barat yang menentang akal, rasio dan makna serta menentang universalitas berarti menentang kebesaran dan nilai-nilai peradaban barat modern?.
Kontradiksi proyek modernisme menggunakan epistimologi ; mungkinkah kita mengetahui kebenaran?, sedangkan alam postmodernis identik dengan ontologi radikal ; apakah ada kebenaran?, bagaimana sikap manusia terhadap kosmos?.

2. Pengetahuan
Hilangnya "titik pusat" dalam tubuh postmodernis memaksa tebentuknya komunitas-komunitas. Dan setiap komunitas memiliki kebenaran sendiri. Ini menandakan hilangnya landasan final manusia. Maka, alam postmodernis menganut paham pluralisme, persamaan dan kesamaan, hilangnya sebab dan munculnya relativisme dan nihilisme total, hingga akhirnya pengetahuan universal manusia menjadi mustahil.

Para pembela postmodern menolak konsep "kebenaran universal" yang menjadi pola pikir pencerahan kaum modernis. Pertanyaan tentang kebenaran adalah pertanyaan tentang metafisika. Menurut Derrida, pada dasarnya tidak ada kebenaran, yang ada hanyalah percikan-percikan kebenaran. Mereka lebih senang melihat kebenaran sebagai ekspresi dari suatu komunitas tertentu. Bagi mereka tidak ada kebenaran universal, mereka menjadikan lingkup kebenaran menjadi "lokal". Sebagai pengganti kebenaran universal, pembela post-modernisme menuntut adanya dialog dan pengetahuan pragmatis tanpa ada ikatan tertentu. Karena kebenaran bagi mereka dicapai melalui dialog pragmatis tanpa harus melibatkan seluruh individu.

Kaum postmodernis melihat bahwa pengetahuan itu merupakan dialog-dialog kecil yang terikat oleh situasi dan terbatas pada ruang dan waktu. Dalam hal ini Post-modernisme terbagi kepada ;
· Post-modernisme teks atau bahasa. Dikatakan bahwa bahasa bukan alat untuk mengetahui kebenaran, tapi alat untuk menghasilkan kebenaran. Bahasa mendahului realitas. Kaum postmodernis teks melihat bahwa bahasa terdiri dari bagian-bagian yang menutupi realitas. Menurut Derrida, mustahil mengetahui realitas yang berada di luar ucapan apalagi mengungkap realitas tersebut. Maka, tidak ada sesuatu yang berada di luar teks.
· Post-modernisme pertarungan / kekuasaan. Kalau post-modernisme teks mengatakan ; "tidak ada sesuatu di luar teks", maka post-modernisme kekuasaan justru mengatakan ; "tidak ada sesuatu di luar kekuasaan, pengetahuan hanya bisa dipahami melalui hubungan-hubungan kekuatan, siapa yang berkuasa dialah yang menguasai segala-galanya".
Dalam hal ini Dr. Masiry mempertanyakan tesis tersebut, bagaimana filosof post-modernisme bisa tahu tentang hilangnya landasan umum, ukuran dan mengamini kekuatan serta menguasai perubahan tanpa bersandar pada satu landasan atau ukuran tertentu? Dan bagaimana mereka menulis sedangkan mereka tahu bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa? Bukankah lebih baik mereka tetap berada pada alam intuisi yang pasti dan merasakan khamar ternikmat serta menggauli wanita tercantik dan menawan seperti yang dilakukan orang-orang Roma pada akhir runtuhnya empratoria.

Dr. Masiry menggambarkan bahwa, dengan khamar dan wanita, proses dan keyakinan tentang yang gaib dan nihilis akan jelas. Kaum postmodernis tidak mampu membantah hal tersebut, meskipun Derrida mencoba memberikan jawaban, tetap dia akan mengakui bahwa dia berada dalam aturan metafisika dan dia tahu itu. Sementara yang lain berada dalam aturan metafisika tapi tidak mengetahui kebenaran itu (seperti kata salah seorang Yunani Kuno ; "saya tidak tahu, dan saya tidak tahu kalau saya tidak tahu"). Ini tragis, untuk siapa semua penderitaan ini?.

3. Makna (Penyatuan & Keterkaitan) dan Transendensi
Alam post-modernisme adalah alam perubahan tanpa tujuan. Hilangnya tujuan, sasaran dan makna diganti dengan konsep "pemisahan". Tidak ada penyatuan dan keterkaitan. Titik pusat diganti dengan banyak pusat. Kebebasan ala posmo hanya berkutat dalam konteks dan alam tertentu serta ruang lingkup yang sempit.
"Keinginan" absolut dalam konteks individu tertentu menjadi "keinginan" tanpa kekuatan ketika berada dalam konteks kemanusiaan umum. Narasi kecil menguasai kesadaran manusia. konsekwensinya, mustahil ada pergolakan atau transendensi. Tetapi, dalam deskripsi sebagian orang, postmodernime adalah - bahwa segala sesuatu itu tunduk pada perubahan dan realitas itu plural - ideologi pergolakan pluralisme (Ideology tsauriah ta'addudiah). Namun, mereka tidak sadar bahwa post-modernisme menyerukan konsep penyamaan (taswiyat) bukan persamaan (musa'waat), dan konsep pluralismenya adalah menafikan adanya "tolak ukur" (mi'yariah) dan segala bentuk aturan. Post-modernisme menolak pemikiran ketuhanan yang transenden. Pluralisme ini mencakup manusia dan berakhir pada penafian manusia dan otoritasnya serta pemikiran alamiah manusia. Ideologi pragmatis yang mempermainkan realitas tanpa melakukan perubahan. Terjebak dalam lingkaran setan, tanpa awal dan akhir.

4. Paradigma Etika
Karena tidak adanya arah dan kepastian, dan karena kebenaran terpisah dari nilai dan semua hal sama, maka tidak bisa dibentuk sebuah "ukuran" untuk menilai dan menentukan yang paling absah. Etika pun tidak bisa tegak secara utuh. Yang bisa dicapai hanyalah etika-etika pragmatis melalui filsafat kekuataanya dengan kepatuhan pada kekuatan. Tidak ada lagi ukuran transendensi manusia, keadilan dan kebatilan tak lagi bisa dibedakan.

5. Sejarah dan Kemajuan
Hilangnya "titik pusat" dan mustahilnya mencapai kebenaran universal serta hilangnya zat menyebabkan kebenaran-kebenaran itu berubah-ubah. Media massa menghadirkan kebenaran yang beranekaragam. Qaedah-qaedah berubah dan kepekaan terhadap sejarah perlahan-lahan mulail rabun, kesadaran postmodern telah melenyapkan optimisme "kemajuan" dari pencerahan dan melenyapkan konsep hermeneutika. Mereka menumbuhkan sikap pesimisme. Yang timbul adalah perasaan seolah-olah berada pada alam azali. Perubahan tanpa akhir, tanpa masa lalu dan masa depan.
Sejarah berubah menjadi hanya sekedar waktu, detik-detik yang konstan, tanpa makna. Masa lalu, sekarang dan masa depan bercampur menjadi satu. Sejarah seperti barang antik, sesuatu yang sia-sia.

Termonologi Post-modernisme
Dalam terminologi filsafat post-modernisme, di kenal istilah "narasi besar" dan "narasi kecil". Terminologi tersebut adalah ide-ide klasik yang dikemas kembali dalam bentuk yang berlebih-lebihan dan cenderung tertutup. Post-modernisme tidak hanya anti paradigma keagamaan tapi juga anti pemikiran humanis-ateistik.
Para pembela filsafat post-modernisme bersikap antagonis terhadap narasi-narasi besar (teori-teori besar, visi universal dan paradigma). Mereka berasumsi bahwa sejak era renaisans, paradigma epistemologi Barat modern bekerja keras untuk mencapai teori "narasi besar" yang mencakup serta melampaui semua narasi kecil. Hal ini menunjukan tentang deskripsi tentang aliran-aliran filsafat materialisme yang melontarkan pandangan dunia materialistis terfokus pada acuan absolut yang imanen pada materi (rasio-ide absolut-proletariat*) dan memberikan interpretasi terhadap segalanya tanpa celah dan jarak antara totalitas dengan partikular.

Filsafat post modernisme digambarkan sebagai filsafat anti narasi-narasi yang memiliki inklinasi universal-transendental-logosentris (against logocentric totalising trancendental metanarratives), artinya post modernisme adalah filsafat anti-narasi universal yang mengacu pada logos (sentral) yang transenden (melampaui) dunia materi. Atau singkatnya, anti teori universal apapun yang mengacu pada dunia transenden yang melampaui entitas materil.
Para pembela post modernisme menggunakan kata narasi (kisah/cerita) sebagai ganti kata visi (ru'yat) dan teori (nadzariyat). Karena jika visi dan teori tersebut hanya sekedar cerita, maka konsekwensinya, ia bersifat relatif dan tidak mengacu pada entitas yang berada di luar dirinya. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa upaya untuk membangun teori universal yang didasari oleh narasi (kecil) adalah suatu hal yang sia-sia. Karena semua teori hanyalah cerita. Konsekwensinya, mencapai kebenaran keagamaan bahkan kemanusiaan menjadi mustahil, pengetahuan menjadi hal yang tidak mungkin, tidak ada pilar dasar untuk penulisan sejarah yang bersifat umum, tidak ada pandangan dunia, tidak ada batasan-batasan kemanusiaan yang universal dan kolektif, yang ada hanyalah sederetan determinisme dan kebebasan, pengetahuan semuanya terkait dengan kasus tertentu yang beragam dalam suatu kerangka bahasa dan interpretasi yang bersifat spesifik.

Di hadapan kita hanya tersisa narasi-narasi kecil yang legitimasinya tidak melewati lingkaran spesifiknya, karena, ia sama sekali tertutup. Hanya memberikan keyakinan khas yang tinggi bagi penganutnya. Namun, ia tidak akan memberi jawaban terhadap tema-tema final-universal (al-as'ilat ul kulliyah/major themes). Sementara narasi besar mengandaikan adanya nila-nilai univeral (al-kulliyat) yang melampaui konteks empirik materil, seperti nilai kemanusiaan (al-insaniyyat ul-musytarakah), kesatuan kebenaran (wahdatul haqiqah) yang tidak pernah berubah mengikuti konteks yang ada. Sementara narasi kecil selalu terkait dengan konteksnya. Kesemuanya berkutat dalam lingkaran besi narasi-narasi kecil yang mereka agungkan. Sebagai konsekwensi, mereka mengeliminasi identitas lain (the other) karena tidak ada narasi besar kemanusiaan yang merangkul dan menjadi acuan semua pihak.
Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa narasi kecil adalah sebuah narasi sekularis karena ia menafikan transendensi, nilai-nilai konstanta atau universal apapun di balik pengalaman empirik atau perputaran perubahan.

Post-modernisme, Konspirasi Zionis dan Tatanan Dunia Baru
Post-modernisme bukan sekedar kedok pembelaan yang digunakan zionis, tapi ia merupakan dasar kokoh yang membentuk kerangka zionisme.
1. Akar dekonstruksi nihilisme tersembunyi dibalik tatanan modernisme barat yang berkutat dalam ruang lingkup materi. Pada dasarnya, dekonstruksi bukan Yahudi murni, tetapi merupakan fenomena barat yang materialistik. Walaupun terdapat beberapa unsur dalam manuskrip agama Yahudi yang menjadikan Anggota Jemaat Yahudi sekte khusus menerima pemikiran dekontruksi. Zionisme berbeda dengan Yahudi, karena Zionisme lahir dari implikasi pemikiran imperialisme Jerman Barat yang ingin menguasai dan menjadikan alam sebagai materi siap pakai. Orang-orang Yahudi pro-dekonstruksi mengadopsi pemikiran ini sebagai kedok dalam menjustifikasi segala bentuk kekerasan dan kejahatannya. Jadi, penafsiran dekontruksi Yahudi dan Zionisme pada intinya lahir dari warisan beberapa sisi manuskrip pendeta-pendeta Yahudi, dengan memasukkan paham-paham post-modernisme ke dalam peradaban barat"
2. Dekonstuksi yang diprakarsai kaum Zionis telah mengeksploitasi orang-orang Yahudi murni dan Arab. Mereka dianggap seperti sampah yang tak bernilai. Bagi mereka, Palestina hanya milik kaum Zionis. Palestina adalah negara Israel-nya kaum Zionis. Proyek besar mereka adalah perubahan, kelemahan dan fleksibelitas. Dengan label Yahudi, mereka berusaha menghapuskan ras Yahudi asli dari sejarah. Negara Israel raya yang berdaulat sekarang ini telah menghapuskan corak Yahudi yang jelas-jelas akan mengancam eksistensi agama Yahudi sendiri.
3. Zionisme layaknya post-modernisme, penganut paham relativisme dan "perubahan". Dari perubahan ini mereka mengingkari universalitas, kebenaran dan realitas.
4. Keyakinan terhadap perubahan nampak jelas dalam pragmatisme Zionis (post-modernisme). Zionis mampu bergerak kemana saja tanpa ada sebuah landasan. Mereka mampu meciptakan "negara boneka" di negara Arab. Aksinya selalu berubah-ubah dari satu fase ke fase lainnya. Hingga barat memberikan apresiasi besar kepada mereka.
5. Dengan dogmatis perubahan, post-modernisme menganggap tidak ada narasi besar yang muncul dari satu komunitas. Yang ada hanyalah narasi-narasi kecil yang menafikan konsep persamaan. Zionisme juga menganut ideologi narasi-narasi kecil yang menolak adanya narasi besar dari satu komunitas. Kaum Zionis membangun teori narasi kecilnya atas nama Yahudi di Palestina atas dasar (merasa abadi dan cinta pada zionisme). Dimana, negara-negara Arab dan Palestina tidak memiliki legalitas terhadap narasi kecil tersebut.
6. Kedua-duanya, baik Zionisme dan Post-modernisme menunjukan sikap ambiguitas yang berlebihan yang berdampak pada nihilisme. Kaum postmodernis mendeskripsikan realitas dengan kehadiran universal mutlak. Dimana contoh kehadiran tersebut menjadi mustahil, karena kaum postmodernis sendiri telah mendeklarasikan tidak adanya realitas universal.

Pada dasarnya, aliran post-modernisme bersembunyi di balik tantanan dunia baru, yaitu pandangan yang menolak adanya titik pusat dan mengkebiri sejarah serta tidak memberikan nilai terhadap kemanusiaan. Era pasca ideologi, era runtuhnya sejarah dan era pasca manusia (era matinya manusia setelah kematian tuhan). Manusia tak ada bedanya dengan entitas yang ada di sekelilingnya. Di bentuk seperti materi hingga nampak seperti kerangka yang tersusun sendiri.

Menurut Dr. Masiry, tantanan dunia baru ini adalah bentuk imprealisme era post-modernisme. Dimana manusia mendapati dirinya berada dalam alam tanpa sejarah, tak ada lagi relasi antara tanda dan petanda, manusia beralih ke alam materi, tubuh dan seksualitas dibawah naungan imprealisme bejat. Bukan atas nama imprealisme tapi dengan istilah "tatanan dunia baru".

* Kausalitas ; meyakini bahwa setiap fenomena alam dan manusia memiliki sebab yang jelas dan tetap. Dimana hubungan sebab dan akibat menjadi hubungan final.
* Proletariat ; pemikir Prancis, San Simon menggunakan terminologi ini kepada orang-orang yang tidak memiliki harta dan tidak menikmati jaminan kehidupan yang layak. Sedangkan menurut Karl Marx, adalah kaum buruh yang menderita kemiskinan terburuk sebagai implikasi dari kapitalisme dan pertarungan kelas.

No Comment

Most Wanted