<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d10028614\x26blogName\x3dThe+Truth+Only\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://anakmapek.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_GB\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://anakmapek.blogspot.com/\x26vt\x3d-9071562857044558623', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Menggenggam Surga; Untuk Para Pemuja

Tuesday, October 31, 2006
Bocah itu bernama Anshar. Ayahnya berdarah Libanon, Ibunya berdarah Palestina. Dia sendiri dibawa oleh pamannya ke Mesir sejak kecil. Dunia menyebut Anshar dan bangsa Palestina kaum naziheen, orang-orang terbuang. "Surganya" di Palestina telah dilumat keserakahan. Dia tak pernah merasakan nikmatnya hidup di negeri sendiri, tak juga di negeri orang. "Hidup tanpa derita adalah dusta, hidup penuh derita adalah nista".

"Ramadhan Karim, Ramadhan Mubarak". Bocah kecil itu menatap sinis. Wanita berbadan gembrot itu seolah tak pernah merasakan kehadirannya. "Berikan aku surga-ku", pintanya. Hanya sorot mata tajam yang dia peroleh. "Surga-mu?, kapan aku merebut surga-mu?".

Ramadhan penuh pesona, di bulan ini surga diobral. Para hamba pun sibuk berburu surga. Karena tercapainya surga tergantung jumlah sujud, bilangan tasbih, dan selaksa doa?. Si Kerdil pun berteriak lantang : "tidak!, Teologi yang sungguh berisi "pembicaraan tentang Allah" menakar kesalehan ataupun argumen rasional demi menalar iman. Bahwa perjalanan paling jauh adalah perjalanan ke dalam jiwa; sedikit melegakan bila ditemani imajinasi, logika, dan abstraksi. Karena spritualitas tidak merayakan kesalehan dengan memuja surga seraya meremehkan dunia".

Para pemilik "surga" itu tak mau tahu. Jiwa-jiwa iblis memberontak dalam jiwa mereka. "Surga" orang lain pun diabaikan, derita si Bocah kecil yang meminta surganya yang terampas hanya dianggap angin lalu. "Akulah pemilik surga itu". Sabda langit pun diremehkan. Si Bocah pun mendakwa Tuhan layaknya para teolog setiap kali dilanda bencana.

"Benarkah surgaku tak ada padamu? trus, dimana Tuhan menyimpan surgaku?". Wanita itu hanya geleng-geleng kepala.

Ketika akar perkara dilacak ke rimba teori, kita tersesat. Kita punya peta, namun terkadang hanyut dalam pesona. Jika mahasiswa filsafat terbuai spritualisme, ia ditegur : manusia diutus ke dunia bukan ke surga. Surga diperlukan agar pengharapan tidak pingsan.

Seorang murid bertanya kepada sang guru : "benarkah ada surga, dan kenapa mesti ada derita?". Sang guru menjawab, "Ketahuilah, surga itu keberadaannya nyata, dan adanya bukan hanya dalam pikiran. Keberadaanya mutlak dan tidak tergantung pada apakah manusia berpikir tentang itu atau tidak. Maka, yakinilah dulu, sebab tanpa keyakinan yang kuat akan keberadaanya, kamu tidak akan pernah menemukan surga. Ketahuilah, surga dan derita adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Banyak pencari kebenaran yang menemukan surga lewat derita, karena hidup yang sesungguhnya adalah derita yang penuh makna".

Para filosof mencoba melakukan "perselingkuhan" dengan logika, menakar keberadaan "surga" dengan pendekatan nalar-rasional. Descartes, sang filosof Prancis misalnya berangkat dari dasar skeptisisme. "Aku ragu akan segala pernyataan, kecuali kenyataan yang tidak bisa dibantah, yaitu kesadaran akan adanya diriku yang sedang ragu". Dalam bahasa sucinya "COGITO ERGO SUM", aku berpikir, maka aku ada. Baginya, sosok "surga" hanya ada, ketika manusia berpikir bahwa ia ada. Begitu juga dengan Locke, sang filosof Inggris. Baginya, sumber pengetahuan yang paling sempurna adalah hanya yang bisa diserap panca indra. Surga yang digambarkan manusia tak pernah ada, karena tidak bisa dibuktikan dengan persepsi indrawi. Sigmund Freud, sang filosof Austria turut serta "meraba" realitas surga. Ide keberadaan "surga" lahir sebagai proyeksi kelemahan dan ketidakberdayaan manusia. Surga adalah ilusi manusia, keberadaanya sangat diragukan, sekalipun tak bisa ditolak sama sekali. Dia menawarkan sesuatu yang lebih nyata yang disebutnya "scienticisme". Imanuel Kant, sang filosof Jerman mencoba lebih bijak. Dia yakin akan keberadaan realitas di luar diri manusia. Menurutnya, apa yang kita lihat bukanlah yang sebenarnya atau dalam istilah Kant "nomina". Yang kita lihat hanyalah penampakan yang disebutnya "fenomena". Namun, dia tidak pernah yakin bisa mengenali apalagi menemukan "surga" yang diimpikan manusia, karena kehadirannya ambigu. Akhirnya, sang "logika" pun angkat bicara, "Saya merasakan keterbatasan saya, betapa pun saya mencoba memahami, saya tetap saja bingung. Kalau bukan karena hidayah Tuhan, maka tak mungkin kita akan mengetahui hakikat sesuatu secara mendasar".

Sementara para sufi menghadirkan "surga" dalam diri mereka lewat sang "Pemilik Surga", pemilik pujian-pujian suci. "Surga" menyusup ke dalam bilik-bilik jiwa, kehadirannya nyata, menepis relung-relung duka. Merajut kasih mesra lewat sabda-sabda suci, lewat derita sadar diri. Derita kesadaran batin akan kebutuhan spiritual, derita yang terjadi akibat cinta yang kuat dan pengagungan rohani yang nyata. Rabi'ah el-Adawiah tak pernah terpikat surga, karena jiwanya selalu berada dalam surga kasih sang pemilik surga abadi.

Si Bocah menatap sendu, seolah menemukan sesuatu. "Bahagiakah engkau dengan "surga" yang ada di genggamanmu?". Wanita itu tertegun mendengar pertanyaan si Bocah. Harta, kekuasaan dengan segala pernak-pernik kehidupan telah ia dapat. Tapi, ia selalu merasa hampa. Tetes-tetes embun kebahagiaan enggan menyapanya. Ia mulai sadar telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Kehilangan kekayaan spritual.

Aku teringat dengan kata-kata Ibn Miskawaih : "Kesedihan hanyalah derita jiwa yang timbul akibat hilangnya sesuatu yang kita cinta, atau karena kita gagal mendapatkan apa yang kita cari. Biang keladinya adalah, karena kita serakah pada harta benda, haus pada nafsu-nafsu badani, lalu merasa rugi kalau salah satu dari itu semua hilang atau gagal kita peroleh. Kalau saja dia tahu siapa dirinya, dan tahu bahwa apa saja yang ada di alam ini tidak kekal, dan yang kekal itu hanyalah alam pikiran, niscaya dia tak akan lagi bersedih hati karena hilangnya apa yang diingini, atau gagal memperoleh apa yang diangankannya di dunia ini".

Tiba-tiba si Bocah berteriak kegirangan, "ah.. bukan "surga" ini yang kucari. Aku tak butuh surga, aku butuh sang 'pemilik surga' dan dunia seluruhnya, akan kugenggam surga lewat cinta kasihnya", sambil berlari menjauh. Wanita itu hanya tertunduk, tak kuat ia mengangkat kepalanya. Hanya tetasan air mata yang mengiringi hilangnya si Bocah dalam gemuruh gejolak bumi. Wallahu a'lam.

*Dimuat di Buletin WawasaN KKS Mesir