Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd lahir di Kordoba pada tahun 1126 M. Beliau lahir dari sebuah keluarga yang memiliki tradisi keilmuan yang terjaga. Ibnu Rusyd atau yang dikenal dengan Averrous adalah filosof Andalusia terbesar yang mempelajari Aristoteles hingga digelar "ál-Mu'allim al-Tsani" (Guru Kedua). Ia menaruh minat besar untuk mendamaikan antara agama dan filsafat.
Membaca Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan filsafat) yang terbentang di hampir setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mena’wilkan dan menafsirkan Al-qur’an sebagai kitab teks, yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan bukan hanya artikulasi lafadz. Menurut Rusyd, ta’wil (penafsiran) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara pembuktian akal dan filsafat serta teks Al-qur’an. Menurutnya, pembuktian akal tidak pernah menyalahi teks agama, karena kedua-duanya adalah konsep kebenaran yang saling terkait. Namun kemudian, Ibnu Rusyd harus mengakui bahwa teks-teks agama yang sarat dengan makna kontekstual di samping makna tekstual, kadang-kadang bertentangan dengan realitas pembuktian akal.
Terhadap permasalahan ini, Ibnu Rusyd memberikan jawaban yang menarik. “Jika sebuah teks agama (syar’i) menyatakan suatu hukum, maka ia bisa sesuai dengan akal dan bisa juga tidak. Apabila ia sesuai, maka kita tidak mempersoalkannya. Tetapi jika ia bertentangan, maka teks-teks tersebut harus dita’wil”. (Ibnu Rusyd, Fashl al Maqal).
Dalam upaya interpretasi teks Al-qur’an, Ibnu Rusyd berusaha menggabungkan antara konsep pembuktian akal dan otoritas teks agama. Ia memberikan batasan yang jelas terhadap metode artikulasi makna lafadz Alqur’an. Terhadap permasalahan ini, Rusyd mengajukan tiga tesis penting; apa yang dita’wil?, untuk siapa dita’wil?, dan bagaimana metode ta’wil?.
Terhadap poin pertama, Ibnu Rusyd mengatakan, bahwa tidak semua teks agama (syari’) harus dita’wil, bahkan ada teks agama yang tidak bisa diganggu-gugat, seperti teks-teks yang berkaitan dengan masalah akidah dan hukum yang telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama. Menurutnya, menta’wil persoalan-persoalan yang sudah mujma’ alaih bisa berakibat fatal terhadap akidah umat dan penta’wilnya digolongkan kafir. Ada juga teks agama yang apabila dita’wil bisa menghasilkan bid’ah, seperti menta’wil teks-teks agama yang sudah jelas dengan penafsiran yang sesuai selera demi kepentingan mazhabi. Namun, disamping itu, terdapat teks-teks agama yang memang harus dita’wil oleh para ahli fikir (ahli l-burhan), seperti ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat di dalam al-quran. Para ahli fikir (ahli l-burhan) dituntut untuk menghasilkan sebuah pena’wilan yang relevan untuk mensucikan esensi Tuhan dari hal-hal yang mutasyabihat.
Poin kedua, untuk siapa dita’wil?. Dalam kaitannya dengan kandungan al-quran, Rusyd membagi manusia kepada tiga kelompok: awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam, kata Rusyd, al-qur’an tidak dapat dita’wilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis. Demikian juga kepada golongan pendebat, ta’wil sulit diterapkan, karena mereka tidak memahami konsep ta’wil dengan baik. Baginya, ta’wil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli fikir saja (ahli l-burhan).
Atas dasar ini, Ibnu Rusyd mengajukan kritik tajam terhadap aliran Mu'tazilah dan sebagian golongan Asy’ari, karena banyak mena’wilkan ayat dan hadits Nabi dan kemudian disampaikan kepada orang-orang awam yang tidak paham persoalan ta’wil. Menurutnya, hal itu bukan hanya merusak akidah umat, tapi juga menyebabkan perpecahan di kalangan orang-orang awam. “Kita seharusnya mencontoh kehidupan para sahabat yang sangat hati-hati dalam persoalan ta’wil. Mereka lebih memilih diam karena takut umat akan masuk ke dalam jurang kesesatan. Berbeda dengan orang-orang sesudahnya yang sangat berani menta’wil teks agama, akibatnya, perbedaan semakin melebar hingga akhirnya menimbulkan perselisihan”, tulis Rusyd dalam “Fashl al Maqal”-nya.
Ketiga, bagaimana metode ta'wil?. Bagi Rusyd, pena’wilan sebuah teks, harus sesuai dengan metode pena’wilan Arab. Dalam artian, konsisten terhadap metode penuturan orang Arab tanpa melakukan modifikasi di luar kaedah bahasa Arab. Karena, ta’wil bagi Rusyd adalah mengembalikan makna hakikat (lahir) sebuah teks kepada makna metaforis (majaz) tanpa melakukan perubahan-perubahan yang menyalahi kaedah penuturan orang Arab”.
Apa yang ditawarkan Ibnu Rusyd dalam konsep ta’wilnya, bukan berarti memposisikan kekuatan filsafat di atas otoritas agama, akan tetapi Ibnu Rusyd berusaha meletakan hakekat agama di atas otoritas akal. “Filsafat meneliti seluruh seluk-beluk syar’i, jika dipahami, maka kita telah memiliki dua pengetahuan dan itu lebih baik, namun, jika tidak bisa dipahami kerena keterbatasan akal manusia, maka hanya syar’i yang mengetahui hakekatnya”, kata Rusyd.
Betapapun, Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan. Wallahu a'lam. []
*Buat Buletin FK Baiquni