MODERNISME DAN POST-MODERNISME
Dr. Abd. Wahab el-Masiry
PendahuluanSeorang penulis Amerika keturunan Yahudi Susan Sontag, pembela kaum lesbi penulis buku; Against Interpretation, (melawan Interpretasi) dianggap sebagai salah seorang penulis terpenting di zamannya. Buku tersebut hadir dengan nuansa yang agak berbeda dengan peradaban Barat. Menceritakan tentang nonrasial filsafat yang mulai mengkungkung barat (bahwa kreasi seni bukan sebuah cerita tapi sihir, –jawaban intuisi yang butuh penafsiran– penampilan kita adalah wujud yang sebenarnya, dan wajah adalah topeng), dalam alam post-modernisme tidak ada bentuk yang bisa dipahami, manusia sebagai manusia kehilangan ciri yang menjadikannya memiliki posisi yang sama dengan yang lain, bahkan manusia dikuasai oleh segala sesuatu). Banyak diantara pemikir barat menganggap kelahiran buku ini sebagai sejarah lahirnya post-modernisme.
Bermula dari lahirnya gerakan pencerahan (humanisme) barat yang menjadikan manusia sebagai pusat, dan menegaskan tentang rasionalitasnya serta kemampuannya melampaui dirinya dan lingkungannya tanpa mengetahui hal-hal yang nonrasial. Peradaban ini dimulai dengan pengumuman "matinya tuhan" atas nama manusia sebagai pusat dan berakhir dengan pencabutan otoritas manusia menjadi decenter.
Kaum modernis menganggap bahwa teknologi akan menjadi sumber kebahagian manusia dan menjanjikan dunia yang lebih baik. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan dan berakhir dengan kehancuran manusia itu sendiri.
Dalam buku ini, Dr. Masiry memulai tulisannya dengan pembahasan tentang fenomena awal yang menyebabkan lahirnya babakan baru dalam sejarah peradaban barat. Lahirnya modernisme yang kemudian berakhir dengan lahirnya post-modernisme. Buku ini sangat menarik untuk dikaji bersama sebagai refeleksi tentang kehidupan yang melanda masyarakat barat saat ini, atau mungkin telah menjangkiti diri kita atau masyarakat kita tanpa pernah sadar akan hal tersebut.
MateriDalam tulisan ini, Dr. Masriy memulai dengan pembahasan tentang "materi". Yang dimaksud dengan "materi" di sini adalah materi dalam istilah Filsafat ; meyakini bahwa materi adalah zat asli dan penggerak inti alam. Pandangan ini tidak ada kaitannya dengan "cinta harta (materi)", karena banyak diantara kaum materialis lebih zuhd dibanding orang-orang beriman. Pola hidup materialis tidak berarti semua masyarakat barat itu materialistis, banyak diantara mereka yang masih bersikukuh dengan iman mereka, tapi justru pola hidup materialislah yang menguasai aspek kehidupan mereka secara umum dan khusus. Pola materialis ini mengalami dua fase :
1. Fase rasionalitas materi (Modernisme)
2. Fase nonrasial materi (Post-Modernisme)
Rasionalitas materi adalah keyakinan bahwa alam ini memuat hal-hal yang bisa digunakan untuk mengintrepretasi segala bentuk materi tanpa membutuhkan wahyu atau pesan Tuhan. Rasionalitas materi ini lebih di kenal dengan istilah gerakan pencerahan, dimana akal manusia mampu mencapai pengetahuan yang menerangi segala sesuatu serta fenomena-fenomena alam. Pengetahuan ini menjadikan manusia sebagai pusat pada alam, yang menjadikannya mampu merubah dan menguasai alam. Dimana manusia berubah menjadi tuhan atau wakil tuhan atau tidak butuh lagi kepada tuhan. Inilah yang menjadi perdebatan humanisme yang dianggap sebagai fase awal dari gerakan pencerahan modernisme.
Post-modernisme dan KegilaanOrang bisa saja menganggap "Post-modernisme" hanya permainan kata atau seperti hantu yang menakutkan atau sebagai aliran filsafat yang tidak bisa dipahami oleh akal kita yang lemah. Orang bisa ngotot menganggapnya tidak ada dan omong kosong. Meskipun orang bisa juga bersikukuh menganggapnya kenyataan paling real hari ini. Orang tidak akan pernah tahu apa itu post-modernisme tanpa mengetahui perselisihan sejarah filsafat dengan gerakan dekonstruksinya serta munculnya imajinasi rasio dan perkembangannya.
Pembahasan ini dimulai dengan sosok tokoh post-modernisme, Jacques Derrida (1930 M.) seorang filosof Francis Yahudi. Dia penganut aliran filsafat nonrasial kontemporer. Dia banyak terpengaruh dengan Nietsche dan fiolosof serta pemikir lainnya (Sarter, Martin Heidegger, Imanuell Lipness, pemikir Francis Yahudi).
Derrida memulai dengan perlawanan terhadap strukturalisme (al-binyawiyyah), sebuah gerakan yang –dari segi filsafat- berusaha menjauh dari esensi manusia yang berada dalam naungan eksistensialisme (al-wujudiah). Orang-orang struktrulis menganggap strukturalisme sebagai penggerak awal dan melampaui akal manusia. Sehingga kita mendapati struktur bahasa dan kekuasan berbicara tentang manusia, bukan manusia yang berbicara tentang struktur bahasa dan kekuasaan. Derrida berkesimpulan bahwa strukturalisme di kemas dalam metafisika dimana eksistensi akal ibarat ungkapan-ungkapan suci yang melampaui alam intuisi dan perubahan. Struktur dalam pandangan orang Strukturalis adalah metode-metode yang menyerupai bangunan akal manusia. Sedangkan strukturalisme adalah proyek mempelajari bangunan akal tersebut. Konsekwensinya, manusia kembali pada otoritasnya dan memberikan alam rasionalitas dan makna yang memungkinkan manusia untuk sampai pada satu kebenaran.
Proyek besar Derrida adalah upaya untuk meruntuhkan ontologi
* barat secara menyeluruh yang dibangun dengan pola pemilahan (oposisi) biner, seperti manusia dan alam, mutlak dan nisbi, tetap dan berubah. Oposisi biner ini bersandar pada pertanda transendensi yang tsabit. Derrida berusaha meruntuhkan pertanda transendensi tsabit tersebut (logos, mutlak dan tetap) dari sisi agama dan materi dengan menetapkan oposisi binernya. Dengan begitu, dia mampu mehancurkan batasan-batasan oposisi yang tersusun dalam pertanda transenden menuju suatu alam baru tanpa batas, asas dan tanpa dasar ketuhanan bahkan tanpa landasan sama sekali. Pluralisme dan relativisme menjadi kata kuncinya. Alam petanda dan pertanda terpisah secara mutlak. Maka, bagi mereka tidak ada bahasa (kalau pun ada, hanya sekedar bahasa tubuh intuisi). Realitas teks saling tumpang tindih. Teks tidak bisa lagi dihadapkan pada realitas ataupun teks dengan makna teks. Pandangan nihilisme ala posmo ini akan menjadi dekonstrukter ketika dijadikan metode dalam membaca sebuah teks.
Dengan proyek dekonstruksinya, Derrida berusaha menghancurkan batasan-batasan kata, kalimat dan makna dengan menciptakan makna-makna baru. Derrida memainkan bahasa provokatif dengan tetap menjaga keseimbangan bahasa tersebut.
Apa yang dilakukan Derrida menurut Masiriy adalah permainan anak-anak yang memuakkan. Kita tahu bahwa permainan anak-anak pada masa kanak-kanak adalah wajar, tapi ketika menjadi orang dewasa, suasananya akan sangat berbeda. Masiry memberikan contoh ; Derrida ketika lahir diberi nama Jacky kemudian dia ganti menjadi Jacques. Dia mengganti namanya tanpa meninggalkan nama yang pertama. Baginya, nama pertama adalah nama yang kedua dan yang kedua adalah yang pertama. Bagaimana bisa seperti itu? Derrida mengatakan : "nama itu seperti tanda khitan, isyarat yang datang dari orang lain, dan tidak mungkin berpisah dari badan". Menurut Masiry, nama bisa saja sama dengan khitan dari satu sisi tapi tidak dari semua sisi. Kita bisa saja menyamakan satu dengan yang lain tanpa ada pertautan antar keduanya. Seperti itulah tabiat perbandingan (majaz). Dia tidak menuntut pertautan dari semua sisinya. Sedangkan Derrida mengatakan bahwa majaz tidak bisa dibawa menuju titik akhir yang logis. Ini yang diketahui setiap anak-anak, ini juga yang dipahami oleh Derrida, akan tetapi dia mempermainkan esensi majaz untuk merusak makna bahasa itu sendiri.
Menurut Derrida, nama adalah fenomena peradaban manusia sama dengan bahasa. Menurutnya, nama adalah tanda yang tidak berpisah dari yang ditandai, ada hubungan pertautan dan pemisahan antar keduanya. Menurut Masiry, seandainya kita tahu bahwa nama adalah fenomena peradaban manusia dan tunduk pada keinginan manusia, tidak seperti tubuh yang merupakan fenomena alam / materi, maka, kita akan marah dan sedih seperti anak-anak dan akan memberitahu semua orang bahwa tidak ada hubungan antar tanda dan yang ditandai yang meyebabkan posisi manusia bermasalah.
Modernisme dan Post-modernismeSecara terperinci, mustahil bagi kita untuk mendefinisikan post-modernisme secara utuh. Hal ini karena adanya ketidaksepahaman mengenai modernitas yang digantikan oleh postmodernis. Kenyataannya, kata “postmodern” sendiri sulit untuk dimengerti secara tepat. Kata “modern” sendiri berarti “terbaru, barusan, mutakhir”; sedangkan kata “post” (pasca) berarti “sesudah.” Jadi secara harfiah sesungguhnya pengertian postmodern mengandung makna pengingkaran, maksudnya “sesuatu” itu bukan modern lagi. Jadilah kemudian post-modernisme mengaburkan pengertian modernisme. Istilah "Post-modernisme" juga dikenal dengan "Poststrukturalisme" yang ditandai dengan runtuhnya filsafat strukruralisme, dan terkadang juga dikaitkan dengan istilah "dekonstruksi". Meskipun istilah posmodenisme mengandung makna yang lebih umum dari dekonstruksi yaitu pandangan filsafat secara umum, sedangkan "dekonstruksi" adalah salah satu tujuan dari filsafat ini. Dekonsktruksi adalah aliran yang meruntuhkan otoritas manusia yang dijadikan sebagai salah satu metode pembacaan teks-teks post-modernisme.
Derrida melihat bahwa ontologi barat bermula dari Plato. Inti dari teori Plato adalah keyakinan tentang adanya alam kebenaran mutlak, yaitu alam universal yang melampaui alam kita dengan satu tujuan, serta alam materi yang menghalangi alam mutlak. Teori Plato sendiri masih mengandung kontradiksi fatal. Plato mengatakan bahwa meskipun alam materi menghalangi alam mutlak, akan tetapi kita bisa sampai pada pengetahuan tentang manusia melalui intuisi, akal dan bahasa. Akan tetapi semua makna yang dicapai bersandar pada metafisika transendensi, jadi ada hubungan antara realitas dan metafisika. Plato menegaskan bahwa intuisi, akal dan bahasa hanya sebatas alat untuk mencapai tujuan akhir.
Proyek modernisme bertolak pada pemahaman bahwa alam ini memuat hal-hal yang bisa digunakan untuk menafsirkannya, dan bahwa akal mampu mencapai penafsiran rasio universal tentang alam ini tanpa perlu melakukan transendesi terhadap kosmos dan materi. Dalam artian, universalitas transendesi adalah semua materi yang ada di alam kita (dunia).
* Ontologi adalah aliran filsafat tentang keberadaan secara umum, ada sebagaimana dia ada. Pemikiran tentang ontologi merupakan pembahasan khusus tentang wujud (eksistensi).