Sederatan peristiwa yang menimpa negeriku, menjadi catatan kelam setiap jiwa. "Tuhan sedang murka", kata para wakil Tuhan. "Tuhan mana yang kau maksud?", para Teolog ikut berdalih. "Tuhanku maha peyayang, maha pengasih tak pernah pilih kasih", para Sufi menampik. "Ah.. itu bukan Tuhan, Tuhan tak pernah ada, tak juga murka tak juga punya kasih", para anti Tuhan terbahak-bahak. "Ini semua karena manusia serakah", para Sosiolog tak mau kalah.
Sungguh ironis ketika sederatan persitiwa yang menimpa negeri ini harus berakhir dengan saling menyalahkan. Lebih ironis lagi, ketika Tuhan dituduh sebagai biang keladinya, "Tuhan sedang murka". Pada saat itu, sosok Tuhan tiba-tiba menjadi momok yang menakutkan. Yang ada hanyalah tuhan bengis, seram tanpa belas kasih. Tak ada satu manusia pun yang mampu menghalau murka Tuhan. "Kenapa Tuhan murka, mak?", si mungil itu nampak iba. "Mungkin karena terlalu banyak maksiat di negeri ini, nak!", emak ikut berdalih. "tapi kenapa Tuhan yang disalahkan, kenapa bukan para pelaku maksiat itu mak?", si anak berlagak filosofis. "Ah.. aku juga tidak tahu nak", emak geleng-geleng kepala.
Ketika teori tak mampu berkata, hati ikut tersayat. "Kenapa harus menyalahkan Tuhan?", si mungil itu mungkin benar. Ketika sebuah permasalahan menemui jalan buntu, manusia serta merta mengklaim Tuhan sebagai pelaku utama. Mereka tak pernah berani menyelam ke dalam lubuk jiwa terdalam sembari bertanya, "apa yang salah pada negeriku?".
Para Teolog ikut berdalih, "Tuhan mana yang kau maksud, yang aku tahu Tuhanku tak pernah murka tanpa sebab yang pasti". Tuhan telah menetapkan hukum alam yang dikenal dengan sunnatullah. Kehendak Tuhan sejalan dengan aturan alam. Ketika manusia menyalahi aturan alam, alam akan murka. Bukan karena Tuhan murka, tapi karena manusia meminta murka Tuhan. Tuhan pun tak segan, murka tuhan tak pilih kasih, ya alim ya dzalim semua akan kena.
...wattaqû fitnatan la tusíbanna ladzína dzalamû minkum khassatan, wa'lamû anna l-laha syadídul iqáb... "dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya".
"Ah.. Tuhanku maha penyayang, maha pengasih tak pilih kasih", para Sufi menampik. Tuhan sungguh pemilik segala cinta, dia tidak pernah murka. Kasih sayangnya berlimpah, hanya manusia enggan memintanya. Mereka lebih memilih murkanya daripada cintanya. Hanya karena cinta Tuhan abstrak, manusia terkadang dibutakan cinta-cinta empiris hamba. Tuhan sungguh maha bijaksana, pemilik segala daya. Tuhan tak pernah murka, manusialah yang murka. "Ah.. kenapa manusia tak mau menatap pemilik segala, pemilik jagat raya, kenapa manusia begitu angkuh seolah memiliki segalanya?".
"Ah.. itu bukan Tuhan, Tuhan tak pernah ada, tak juga murka tak juga punya kasih", para anti Tuhan memandang remeh. Bagi para anti Tuhan, bumi berjalan dengan sendirinya, tanpa aturan. Mereka menganggap semua yang terjadi di muka bumi ini berjalan tanpa intervensi Tuhan. Manusialah pemilik hak penuh alam. Manusia pulalah yang menentukan masa depan alam.
Namun, ketika aturan alam tak lagi terkendalikan, masihkah manusia menafikan kekuatan Tuhan. Ketika ribuan korban jiwa terlantar, masihkah manusia memiliki kekuatan melebihi kekuatan Tuhan?. Ketika alam murka, tidakah kita menjerit memanggil Tuhan, memohon belas kasih Tuhan. Tuhan adalah dzat yang tidak bisa dinafikan, tidak juga bagi para Ateis, karena manusia dilahirkan dengan dasar ketuhanan yang suci.
"Ini semua karena manusia serakah", para Sosiolog tak mau kalah. Manusia sebagai mahluk pemilik potensi tertinggi, telah merusak alam. Maka, manusia harus bertanggungjawab. Manusia yang seharusnya membangun peradaban alam, hanyut dalam ambisi kemanusiaan yang paling rendah. Itu semua karena manusia serakah.
Apapun yang terjadi, tak pernah lepas dari kehendak Tuhan, tidak juga dari campur tangan manusia. Sederatan peristiwa yang terjadi di negeri ini, bisa jadi wujud cinta Tuhan yang diungkap lewat "Murka Tuhan". Setiap insan punya potensi ketuhanan dalam jiwa. Maka, seharusnya manusia menyelami makna peristiwa dengan kembali memancarkan jiwa ketuhanan dalam diri setiap insan. Bukan dengan saling menyalahkan, apalagi sampai menyalahkan Tuhan. Wallahu a'lam.
tajammu awwal, 16 Januari 07
This entry was posted
on Tuesday, January 16, 2007 at 8:02 pm.
You can skip to the end and leave a response.